Welcome To Fun Center

THIS BLOG JUST GIVE A FUN AND EDUCATION

Rabu, 18 Mei 2011

TUGAS KULIAH FISIP

BAB I
                                                PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

            Pers atau juga bisa disebut sebgai media massa selalu menjadi ajang perhatian dan rebutan para penyandang modal, karena media massa merupakan lahan yang menguntungkan, terutama di negara-negara maju dan negara pengantu sistem demokrasi. Disisi lain pemerintanpun sangat berkepentingan terhadap media massa ini. Bagi pemerintah dilihat bukan sisi idelanya, sehingga sangat beralasan apabila di negara-negara totaliter media massa berada dalam kekuasaan pemerintah, yaitu di jadikan alat perjuangan partai untuk mencapai tujuan ideology (khususnya negara-negara penganut paham Marxisme)[1]

            Dalam kegiatan komunikasi politik fungsi media massa (media elektrinik maupun media cetak) yang tampak adalah:
a. Sumber informasi
b. Sebagai fungsi partisipasi
c. Sebagai fungsi sosialisasi dan pendidikan politik
d. Fungsi mengembangkan budaya politik
e. Fungsi integritas bangsa

            Pers bisa dianggap sebagai pengamat, forum dan guru (watcher, forum and teacher)[2]. Artinya. setiap hari pers memberikan laporan ulasan mengenai kejadian, menyediakan tempat (forum) bagi masyarakat untuk mengeluarkan pendapat secara tertulis dan turut mewariskan nilai-nilai ke masyarakat dan genrasi ke generasi . Dengan kata lain, pers mengamati kejadian dan melaporkannya kepada masyarakat, menjadi temapat “diskusi”  serta kemampuan mendidik masyarakat kea rah kemajuan karena pers memberikan ilmu pengatahuan serta mengarahkan mayarakat pada pembaruan.

            Pers memiliki dua sisi kedudukan. pertama, sebagai medium komunikasi yang tertua dibanding medium yang lain. kedua, pers sebagai lembaga kemasyarakatan atau institusi social merupakan bagian integral dari masyarakat dan bukan unsur asing atau terpisah[3].
Pers juga berfungsi melaksanakan kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik berupa korupsi, kolusi, nepotisme maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Oleh karena itu dalam pelaksanaan Pemilu/Pemilukada 2009 yang lalu fungsi pers ikut aktif menyebarkan informasi Pemilu/Pemilukada kepada masyarakat. Sudah sesuai dengan fungsi pers yang diatur dalam UU No.40 Tahun 1999.

1.2 Perumusan Masalah
            Komisi penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers daerah harus dilibatkan secara aktif untuk mengawal proses Pemilu/Pemilukada, khususnya pengawasan terhadap perilaku lembaga penyiaran dan media cetak pada tahap kampanye dan minggu tenang untuk menghindari penyalahgunaan fungsi media.
            Dari hal tersebut rumusan masalah yang dapat kita ambil berguna untuk menjelaskan:
·         Bagaimana dinamika peran pers dalam konfigurasi perpolitikan di Indonesia ?
·         Bagaimana kontribusi pers di Indonesia dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia ?



           

1.3 Tujuan Penulisan
1.  Makalah ini diharapkan bisa memberi pemahaman bagaimana peran pers di indonesia
2. Makalah ini diharapkan bisa memberi pemahaman bagaimana peran pers di dalam pemilu secara langsung yang dilaksanakan di indonesia

1.4 Tinjauan Pustaka
            Pengaruh media massa dalam kehidupan politik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kenneth Newton dan Jan W. van Deth (2005; 167-9)[4], terdapat empat teori untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh media massa.
            Pertama teori penguatan (reinforcement theory). Teori ini berpendapat bahwa pengaruh media massa itu minimal. Apa yang dilakukan oleh media massa pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi dan pengutan opini yang terjadi di dalam masyarakat
            Kedua teori setting agenda (agenda setting). Didalam teori ini media massa dianggap tidak dapat menentukan apa yang kita pikirkan tetapi, media massa diaganggap dapat dan memiliki pengaruh terhadap apa yang kita pikirkan. Didalam teori ini, media tidak hanya tidak hanya merefleksikan apa yang ada didalam masyarakat tetapi media bisa juga memiliki agenada sendiri di dalam masayarakat maupun pemerintah. Media massa, misalnya, sering meliput suatu isu dalam kurun waktu tertentu secara terus-menerus. Konsekuensinya, pembaca, pemirsa, dan pendengar bisa berpengaruh secara berkepanjangan itu.
            Ketiga teori priming dan framing. Di dalam pandangan teori priming, media dapat mempengaruhi karena lebih fokus pada isu-isu tertentu bukan yang lain. Misalnya, didalam menyingkapi isu yang di tampilkan oleh calon Presiden Barrack Obama dari Partai Demokrat dan Jhon McCain dari partai politik sebelum di selenggarakan pemilu Presiden di Amerika Serikat. Obama lebih menekankan pada penyelesain masalah domestic dan mengatasi masalah politik luar negri melalui cara-cara dialog dan damai. Sementara itu, Jhon McCain lebih menekankan adanya ancaman dari luar, terorisme. Disini, ada media yang secara sengaja lebih menekankan pada isu-isu domestic karena itu lebih menguntungkan Obama, dan ada pula yang menguntungkan McCain 
            Sementara dalam teori  framing, media melakukan set up untuk mempengaruhi penafsiran pembaca, pemirsa, dan pendengar tentang isu dalam makna tertentu. Disini media meakukan organisasi dan mengahadirkan suatu peristiwa atau isu tertentu untuk ditampilkan kepada pembaca, pemirsa, dan pendengar di dalam kerangka makna tertentu.
            Keempat, teori efek langsung (direct effects theory). Media dipandang memiliki pengaruh langsung pada sikap dan perilaku. Dia dalam teori ini, media massa tidak hanya sekedar sebagai institusi yang merefleksikan realitas, melainkan institusi yang memiliki pengaruh terhadap realitas itu, termasuk di dalamnya pengaruh di dalam memberikan makna terhadap realitas.
            Dari keempat teori ini peran pers di dalam pemilu sangat nampak pada teori setting agenda dima teori ini lebih kepada mempengaruhi pembaca yang membaca media massa tersebut. Dan juga toeri priming  dan framing, dimana teori priming ini pada menjelang pemilu sangat berfungsi untuk membuat media mempengaruhi pada isu-isu tertentu yang di bicarakan oleh pasangan kadidat dalam pimilu baik itu pemilu kepala daerah maupun Presiden. Sedangkan teori farming berguna kepada peran media dalam mengatur tulisannya untuk mempengaruhi para pembaca yang membaca media tersebut.






BAB II
ISI
2.1 Peran Pers Pada Pemilu 2004[5]
a. Proses Pemantuan Pemilu Tahun 2004      
Penyelesaian berbagai krisis nasional yang kita hadapi pada tahun 2004 membutuhkan adanya suatu pemerintahan yang memperoleh legitimasi rakyat, dipercaya, dan berwibawa, untuk bisa mengatasinya. Sedangkan untuk memperoleh pemerintahan yang demikian itu, tak bisa lain harus melalui Pemilu, baik untuk memilih anggota parlemen, DPD, maupun Presiden.
Namun Pemilu baru dapat membuahkan hasil yang diterima rakyat, jika pemilu itu betul-betul dilaksanakan dengan prinsip: langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil). Untuk memenuhi prinsip itu, penyelenggaraan Pemilu tentu perlu dipantau oleh segenap elemen  masyarakat.

         Sejumlah organisasi pemantau Pemilu, seperti KIPP, UNFREL, Forum Rektor, dan sebagainya, menjadi kepanjangan tangan rakyat dalam memantau pelaksanaan Pemilu. Namun, apakah organisasi-organisasi tersebut mampu memantau seluruh proses Pemilu di berbagai daerah, dan mengkoordinasikan kerja pemantauan --yang melibatkan ratusan ribu relawan-- itu dalam waktu yang       sudah   sangat  singkat ini?

         Jawabnya, tentu mengandalkan kapasitas organisasi-organisasi itu saja masih belum memadai. Dalam hal ini, jurnalis dengan media massanya menjadi unsur pendukung, serta merupakan mata, telinga, dan mulut rakyat. Media massa memantau pelaksanaan Pemilu dan menyiarkan/memberitakan hasil pantauannya, sehingga diketahui rakyat. Bahkan hasil pantauan organisasi pemantau Pemilu pun butuh media massa untuk bisa diketahui rakyat.
b. Kendala Yang Dihadapi Pers Dalam Pemantuan Pemilu Tahun 2004[6]
         Sejak awal, sudah disadari bahwa daya jangkau para pemantau Pemilu sangat terbatas, baik dari segi wilayah maupun tahapan/aspek yang bisa dipantau secara efektif. Sehingga masih banyak peluang untuk kecurangan. Daerah perkotaan tampaknya akan lebih mudah dipantau ketimbang daerah pedalaman. Sejumlah organisasi pemantau Pemilu punya metode yang berbeda dalam teknik pemantauan Pemilu dan cara perhitungan hasil Pemilu, sehingga ada problem dalam koordinasi, dan pertukaran informasi. Bisa juga terjadi "persaingan" dalam rekrutmen relawan untuk tugas memantau pemilu.          

Para insan pers juga mengalami sejumlah kendala, di antaranya:      
1.Selain mungkin disibukkan oleh tugas rutin yang tidak terkait langsung dengan liputan Pemilu, para jurnalis bisa jadi terbagi-bagi dalam sejumlah organisasi jurnalis pemantau Pemilu. Dan di antara organisasi-organisasi ini tidak ada koordinasi ataupun pertukaran informasi yang baik, dalam peliputan dan pemantauan pemilu.
2. Persaingan antar media, khususnya media televisi, juga tidak mendorong mereka untuk saling bertukar informasi tentang adanya kasus di daerah pemilihan tertentu. Padahal, pemberitaan yang meluas tentang adanya kasus kecurangan tertentu, misalnya, dapat mendorong penuntasan kasus tersebut.
3. Pengetahuan dan pengawasan publik melalui pers, meski cukup meluas, pada prakteknya juga hanya bisa dilakukan secara terbatas.
Ada beberapa faktor penyebab untuk hal ini:
• Pertama, jumlah media dan jurnalisnya yang terbatas.        
• Kedua, daya jangkau liputan dan pemberitaannya juga terbatas (dalam hal ini media radio dan    TV lebih punya keunggulan, karena tak butuh sarana distribusi seperti media cetak). Sejumlah media, karena keterbatasan sarana dan dana, dengan sendirinya akan membatasi area peliputan/ pemantauannya.
• Ketiga, daya beli masyarakat yang merosot selama krisis ekonomi, tidak mendorong mereka untuk mengkonsumsi dan memantau pemberitaan media cetak, misalnya.  
4. Waktu persiapan yang minim, yang menyulitkan dalam memahami aturan main Pemilu yang ada (yang juga disusun tergesa-gesa). Kesulitan ini bukan cuma berlaku bagi masyarakat umum, tetapi juga bagi tim-tim pemantau sendiri dari berbagai organisasi, dan bahkan para jurnalis peliput      Pemilu.
5. Konflik kepentingan dalam media massa karena pertimbangan pemasukan iklan. Partai-partai politik bermodal besar menjanjikan akan memasang iklan, yang berarti pemasukan uang besar untuk media, sehingga mereka cenderung untuk tidak terlalu kritis terhadap potensi pelanggaran yang       dilakukan        partai   bersangkutan.
6. Konflik kepentingan dalam media massa karena pimpinan media massa menjadi pengurus/simpatisan/atau pendukung parpol tertentu. Dalam Pemilu semasa Orde Baru, misalnya, mayoritas pimpinan media massa adalah anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan pendukung Golkar. Oleh karena itu, pemberitaan mereka cenderung membesarkan Golkar dan mengecilkan partai lain. Kecenderungan semacam ini masih besar kemungkinannya terjadi pada Pemilu 2004. Apalagi wartawan “bermental Orde Baru” pada Pemilu tahun 2004 masih kuat bercokol di organisasi jurnalis dan di medianya masing-masing.
7. Konflik kepentingan dalam media massa karena sebagian wartawan menjadi anggota, pengurus atau pendukung partai politik tertentu (posisi ini bisa dengan restu atau tanpa restu dari pemimpin media bersangkutan). Hal ini juga akan mempengaruhi pemberitaan mereka.
8. Konflik kepentingan dalam media massa karena pimpinan media bersangkutan ikut aktif sebagai kandidat dalam Pemilu 2004, baik untuk posisi anggota DPR, DPD ataupun Presiden. Contoh yang paling menonjol adalah majunya Surya Paloh, pemimpin grup penerbitan Media Indonesia dan Metro TV, sebagai calon Presiden RI melalui Konvensi Partai Golkar. Sulit diharapkan, Media Indonesia dan Metro TV dapat bersikap fair terhadap kandidat lain.
        
         Dalam kaitan pemantauan oleh media, maka butir 5, 6, 7, dan 8 di atas perlu mendapat perhatian khusus, jika media massa diharapkan berperan aktif dan efektif dalam pemantauan Pemilu        2004. Pemantauan Pemilu oleh media massa sebetulnya membutuhkan suatu jaringan kerja, agar pemantauan itu dapat berjalan efektif dan efisien. Tanpa adanya jaringan kerja pemantau Pemilu pun, para jurnalis biasanya karena tuntutan tugas dan profesinya akan melakukan juga pemantauan pemilu.                    
         Namun pemantauan seperti ini dilakukan sebagai bagian dari tugas peliputan, yang sifatnya kadang-kadang kontinyu (berkesinambungan), tetapi lebih sering bersifat temporer dan sporadis. Karena tidak adanya pola pemantauan yang sistematis, maka gambaran hasil pemantauannya pun tentu          tidak    menunjukkan   keteraturan,         sehingga    sulit  untuk            dijadikan      acuan.
2.2 Peran Pers Pada Pemilu 2009[7]
         Pemilu 2009 menjadi ajang besar bagi seluruh warga Negara Indonesia karena menyangkut pemilihan wakil rakyat dan pemimpin Indonesia lima tahun kedepan. Namun, tidak hanya itu pemilu juga menunjukkan seberapa dewasa masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi.
         Berbicara mengenai pers sebagai pengawas pemilu, harus mengambil peran untuk memberikan pembelajaran politik serta menjadi penguji dari konsep-konsep para caleg, capres, dan cawapres. Pers pun harus memaparkan bagaimana perjalanan suatu partai politik itu, agar masyarakat bisa jeli dalam memilih. Menurut Nurul Arifin Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golongan Karya[8]. media belum memainkan peran sebagai agen sosial, memberikan pendidikan bagi masyarakat," katanya dalam diskusi dan peluncuran buku "Media, Pemilu, dan Politik" oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI).          
        
            Ia mencontohkan pada Pemilu 2009, baik pemilu legislatif dan pemilu presiden, media massa kurang mensosialisasikan isu-isu krusial seperti tata cara menandai surat suara dan pengawasan terhadap daftar pemilih tetap (DPT). Media massa, katanya, juga kurang mampu mensosialisasikan bahwa masyarakat harus aktif memeriksa DPT dan memastikan dirinya terdaftar sebagai pemilih. Meskipun tugas sosialisasi ini menjadi tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lembaga terkait, katanya, media" massa seharusnya mengambil peran maksimal untuk mensosialisasikannya dalam rangka memberikan pendidikan politik.
            Nurul juga mengkritisi netralitas media, khususnya ketika pemilu berlangsung.
Menurut dia, sejumlah media cenderung tidak netral dalam pemberitaan dan ini sangat dipengaruhi oleh siapa pemilik media tersebut dan afiliasinya.
            "Perkembangan media di Indonesia agak menakutkan karena media cenderung tidak menjadi corong bagi masyarakat, melainkan corong bagi pemilik media itu sendiri," katanya. Sementara itu, wartawan senior Budiarto Shambazy mengatakan, pers memang dituntut untuk lebih profesional dan menyajikan berita yang layak baca dan edukatif. Namun, berbicara tentang netralitas, ia mengatakan pemberitaan sangat dipengaruhi setidaknya oleh wartawan pembuat berita tersebut. Dan ia meyakini, masih ada insan pers yang membuat berita  dengan  hati  nurani.           
Sementara itu, buku yang diluncurkan ISAI "Media, Pemilu, dan Politik"[9] membahas tentang kecenderungan media dalam Pemilu 2009 yang merupakan hasil penelitian terhadap media selama pemilu berlangsung. Salah satu, catatan yang diberikan ISAI dari hasil penelitian terhadap 15.951 berita media cetak dan 5.403 berita tentang Pemilu 2009 di televisi, menunjukkan media lebih sering mambahas tentang peluang bakal calon dalam pemilu, dibandingkan dengan profil calon atau bagaimana tata cara memilih yang benar. Media dianggap belum banyak melakukan pendidikan bagi pemilih.
                 Selain itu, hasil penelitian ISAI menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan media sangat mempengaruhi pemilih, tidak terbukti. ISAI mencatat pasangan Jusuf Kalla-Wiranto lebih banyak mendapat pencitraan positif dari media, namun kenyataannya tidak banyak dipilih oleh pemilih
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam Pemilu/Pemilukada besar di Indonesia kemungkinan ada media yang cenderung partisan, memihak pihak tertentu dan orang tertentu. Karena itu perlu ada mekanisme pengawasan yang baku dan berkesinambungan untuk mengawasi hal ini terutama iklan Pemilu/Pemilukada, bahkan pihak KPI dilibatkan dalam pengawasan penyiaran berita oleh media massa yang ada. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Mochamad Riyanto anggota KPI Pusat bahwa pengaturan isi siaran Pemilu/Pemilukada melalui lembaga penyiaran memang menjadi kewajiban KPI, sebagaimana telah diterjemahkan KPI kedalam Pasal 60 Peraturan KPI No.03/2007 mengenai Standar Program Siaran. Dalam ketentuan tersebut lembaga penyiaran diwajibkan mengalokasikan waktu yang cukup bagi peliputan Pemilu/Pemilukada, bersikap adil dan proporsional, tidak partisan, tidak membiayai atau mensponsori program yang ditayangkan. Pelanggaran atas ketentuan ini akan berakibat teguran yang berujung pada pemberian sanksi kepada lembaga penyiaran.








DAFTAR PUSTAKA
·         Manual Pelatihan Pemantau Pemilu KIPP.
·         Siaran Pers UNFREL, 21 Mei 1999.
·         Eep Saefulloh Fatah, "Empat Puluh Titik Rawan Pelanggaran dalam Pemilu 1999", Jakarta, 8 April 1999.
·         Di sajikan dalam bimtek pengelolaan media centre KPU Kab./Kota
·         http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/03/28/peranan-pers-nasional-dalam penyiaran-pemilupemilukada/ 19-4-2011/ 14.45 wib
·         http://bataviase.co.id/node/154453/19-4-2011/15.05
·         Marijan, Kacung. Prof. DR.  Komunikasi Politik Indonesia Konsidilasi Demokrasi-Pasca Orde Baru, Kencana, Jakarta 2010
·         Harun , Rochajat, Ir, Med., Phd dan Sumarno AP. Drs. SH. Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar, cv Mandar Maju












[1] Rochajat Harun dan Sumarno .2006.Komunikasi Politik Sebagai Suatu Pengantar  hlm 140
[2] Dikutip dari Nurudi Sistem Komunikasi Indonesia. hlm 70
[3] Rachmadi.1990. dikutip dari Nurudin.Sistem Komunikasi Politik. hlm 70
[4] Kenneth Newton dan Jan W. van Deth (2005)  di kutip dari Prof. Dr. Kacung Marjian, 2010, Sistem Politik Indonesia Konsidalisi Demokrasi Pasca - Orde Baru hal 282.
[6] Ibid
[8] http://bataviase.co.id/node/154453/19-4-2011/15.05
[9] Ibid